Kita sangat prihatin kalau melihat betapa sulitnya sekarang ini para remaja
melanjutkan sekolah, baik ke tingkat SLTP, SLTA, apalagi ke universitas. Padahal pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang menurut survey
internasional, mutunya sangat rendah, sehingga tidak memiliki keunggulan
competitive di pasar global.
Kalau
hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka kalau tiba waktunya Indonesia
terkena peraturan pasar bebas Asia, apalagi dunia, maka para pemuda akan
lebih banyak yang menjadi penonton di negaranya, alias menjadi
pengangguran… jobless…
Pemerintah
Indonesia nampaknya tidak akan mampu mengejar ketinggalan ini… karena
itu kita semua orangtua dan para pendidik/guru di sekolah harus
melakukan terobosan yang inovatif untuk meningkatkan keunggulan
competitive (daya saing) anak-anak kita atau anak didik kita.
Bagaimana caranya?
Saya mau sharing berdasarkan pengalaman pribadi saya mendidik diri saya dan anak-anak saya.
Para
remaja umumnya tidak bisa membedakan arti dari keunggulan competitive
dengan keunggulan comperative. Padahal ini sangat penting untuk mengukur
kemampuan diri sendiri maupun anak didik kita.
Banyak
remaja masa kini merasa bangga kalau bisa masuk sekolah yang mahal dan
berkualitasnya dan merasa dirinya sudah hebat dan punya keunggulan
competitive. Padahal yang dimilikinya baru keunggulan comperative yang
justru bisa berdampak terhadap keunggulan bersaing yang sebenarnya di
pasar bebas nanti.
Karena
keunggulan yang dimilikinya hanya hasil pengaruh fasilitas uang atau
jabatan orangtua atau familinya. Bukan kemampuan asli dirinya dalam
bersaing dengan remaja lainnya dalam kondisi yang sama.
Seseorang
baru bisa memiliki keunggulan competitive bilamana dia bisa sekolah di
luar negeri hanya karena kemampuan dirinya merebut peluang dengan cara
mengikuti tes secara terbuka dan bebas tanpa fasilitas dan bayar uang.
Kalau
dia bisa sekolah yang bagus di luar negeri karena fasilitas dan uang
orangtuanya saja, maka sebenarnya dia masih belum punya keunggulan
competitive.
Nanti
kalau sekolah di luar negeri sudah selesai dan pulang ke dalam negeri,
umumnya dia tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi
dalam negeri, lalu akhirnya dia akan frustasi dan menjadi pengangguran.
Untuk
recovery mental yang rusak tersebut butuh waktu yang lama dan kesabaran
yg tinggi. Kalau tidak sabar dan telaten, maka anak kita anak didik
kita pulang dari luar negeri bukan memiliki daya saing yang tinggi,
malah akan bermasalah. Ada yang sampai terkena narkoba karena di luar
negeri pergaulannya lebih bebas.
Memang
biasanya mereka yang sekolah di universitas luar negeri / barat akan
memiliki keunggulan berbahasa Inggris yang membanggakan. Tanpa
keunggulan kualitas mental, apa artinya?
Kedua
anak saya yang kembar, sekolah Management Perhotelan di Australia
selama 3 tahun, ujung-ujungnya malahan jadi artis sinetron, fashion
model, model iklan, dll. Tidak satu pun yang berkarier secara serius
di manajemen perhotelan. Alasannya manajemen di perhotelan Indonesia
itu tidak profesional, banyak pelanggaran, memeras karyawannya, tidak
menghargai tinggi tenaga kerja seperti di luar negeri. Masa kelulusan
akdemi perhotelan di Australia yang punya nama besar, digaji lebih
rendah dari UMR, padahal hotel tersebut berbintang lima dan ocupantie
ratenya tertinggi di Surabaya (gila, gaji mereka kelihatan lebih tinggi
karena service chargenya). Uang lembur diganti dengan bonus cuti.
Butuh
waktu mengalami berbagai trial dan error kehidupan/karir/pekerjaan
sekitar enam tahun agar mereka (kedua anak kembar saya) mampu merecovery
mental yang rusak karena kemampuan dan skill yang mereka dapat di luar
negeri tidak dihargai di dalam negeri.
Syukurlah
akhirnya mereka menemukan jati dirinya kembali. Setelah mengikuti
trainingnya ESQ LC pimpinan Ary Ginanjar Agustian di Surabaya pada tahun
2006 dan sekarang mereka berbahagia bergabung di ESQ LC menjadi
trainer, walau harus kerja keras dengan gaji hanya sebatas cukup saja.
Dari
pengalaman seperti ini, janganlah terburu-buru mengirim anak atau anak
didik Anda sekolah ke luar negeri hanya karena punya cukup uang, tapi
sebaliknya mereka harus ikut seleksi mendapatkan beasiswa luar negeri
dari lembaga resmi pemerintah atau swasta. Anjurkan dan suruh mereka mengikuti
berbagai tes dan seleksi berulang-ulang sampai betul-betul lulus karena
kemampuannya sendiri.
Demikian
juga jangan sampai memasukkan anak Anda ke sekolah apa pun dalam negeri
yang punya nama hebat tapi lewat jalur khusus atau KKN. Biarkanlah dia
ikut UMPTN atau jalur prestasi. Biar berulang kali agar dia tahan uji.
Anak
saya yang perempuan pernah tidak lulus UMPTN dan terpaksa harus masuk
sekolah swasta (Ubaya di Sby), tapi saya suruh ikut UMPTN lagi tahun
depannya… berhasil lulus dan diterima di Fakultas Eknomi di Unair
jurusan Akuntansi. Memang dia buang waktu satu tahun, tidak apa, karena
akhirnya dia lulus dengan prestasi the best of the best dari Unair tahun
2000. Sekarang dia sudah berhasil menjadi karyawan Bank Indonesia di
Jakarta (walau juga melalui dua kali testing yang sangat berat dan
melelahkan (bayangkan ada 10 tahap seleksi di BI, yang lamanya
keseluruhan sekitar satu tahun).
Kesimpulannya,
latihlah anak Anda melakukan berbagai ujian dan testing secara fair,
bebas tanpa fasilitas dan embel KKN. Lebih sering ikut seleksi akan
lebih mendongkrak daya saing dan kemandiriannya.
Dengan
cara yang demikian anak kita akan menemui jati dirinya dan akan mendapatkan
keunggulan competitive yang murni. Wassalamu alaikum wr wb. By
Ibujempol.
0 Comments